Kamis, 24 November 2011

Teori Organisasi dan Administrasi (Fase Perkembangan Kehidupan Organisasi)

Fase Perkembangan Kehidupan Organisasi
(PT Ciputra Development )
 http://www.archiplan.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2011/11/ciputra_logo.jpg 
Pada penjelasan kali ini saya memilih perusahaan ciputra untuk di ulas mengenai daur kehidupan organisasinya. Perusahaan ciputra dengan nama awal pt citraland memulai bisnisnya dalam bidang properti komersial pada 22 Desember 1994.ketika mula didirikan ,hanya didirikan oleh 5 orang kantornya menumpang disebuah kamar kerjaPemda DKI Jakarta raya. Inilah yang disebut fase entrepreneurial . fase entrepreneurial biasanya masih berukuran kecil dengan anggota yang masih sangat sedikit ,dan pengelola organisasi bisa dengan mudah mengontrol aktivitas-aktivitas yang ada di dalamnya. Pada fase ini biasanya pemilik adalah sekaligus pengelola. Fase ini dicirikan oleh kreativitas yang tinggi dan tujuan yang ambigu.
 Pada fase entrepreneurial aktivitas organisasi akan meluas ,biasanya organisasi akan membutuhkan pengelola profesional untuk menangani aktivitas-aktivitas yang semakin kompleks. Ciputra meluaskan bisnisnya dengan membawahi tiga grup yaitu jaya group,metropolitan group,dan ciputra group,dalam peluasan ini biasanya menimbulkan fase krisis yaitu disebut krisi kepemimpinan (leadership crisis) karena pengelola tidak mampu lagi sendirian atau secara personal mengembalikan aktivitas organisasi. Pada masa ini ciputra berhasil melewati masa krisis kepemimpinan namun pada masa ini tepatnya pada tahun 1997 terjadilah krisis ekonomi,tetapi ciputra berhasil melewati krisis ekonomi tersebut dengan adanya kebijakan moneter dari pemerintah,diskon bunga dari beberpa bank sehingga ia mendapat kesempatan untuk merestrukturisasi utang-utangnya.karena krisis tersebut berhasil di lewati maka organisasi masuk ke fase kolektivitas.
Tugas manajemen profesional yang menggantikan kepemimpinan entrepreneur adalah membangun integrasi kolektif diantara bagian-bagian yang telah terdeferensiasi di dalam organisasi ,artinya organisasi mulai di perjelas struktur dan fungsi-fungsinya.akan tetapi komunikasi dan struktur masih bersifat informal. Kreativitas dan inovasi masih menjadi ciri yang dominan. Di ujung fase kolektivitas terjadi krisis otonomi(autonomy crisis). Bagian-bagian tertentu mulai merasa perlu wewenang yang lebih besar untuk mengelola aktivitasnya dan tidak bersedia lagi dikontrol melalui pengembalian keputusan yang terpusat. Para pengelola terbiasa menjalankan keputusan. sentralistis pada fase ini,biasanya sulit untuk memulai desentralisasi.padahal organisasi mengalami diferensiasi yang makin rumit sehingga sulit untuk ditangan secara sentralis inilah yang menimbulkan krisis dalam orgnisasi. Dalam hal ini ciputra berhasil melewati krisis otonomi maka fase selanjutnya adalah fase delegasi
Di fase delegasi ini organisasi mulai mendelegasikan keputusan-keputusan ke bawah. Struktur organisasi mulai diformalisasi dengan aturan-aturan dan prosedur yang lebih formal,tujuannya untuk mempertahankan efisiensi dan stabilitas organisasi.dalam fase ini terjadi lagi krisis baru yaitu krisis kontrol(control crisis). Artinya,desentralisasi pengambiklan keputusan menyebabkan pengelola organisasi kehilangan atau berkurang kemampuannya untuk mengontrol keseluruhan organisasi,sehingga aktivitas-aktivitas tidak dapat terpantau secara detail oleh pengelola organisasi.
Fase selanjutnya adalah fase formalisasi , bentuk yang lebih formal lafi,di mana sistem perencanaan,akunting,informasi,dan pelaporan formal mulai di terapkan.pada fase ini kontrol birokratik mulai diterapkan dengan melakukan standarisasi terhadap berbagai aktivitas,sampai pada suatu ketika kontrol birokratik yang makin detail dan rumit menyebabkan gejala over bureaucracy atau birokrasi yang berlebihan hal ini menimbulkan krisis birokratik(red-tape crisis) krisis inilah yang menyebakan birokrasi mendapat nama jelek.
Ciputra mengalami 4 krisis dan berhasil melewatinya dengan sukses
·        Krisis pertama dialami ketika masa-masa awal pengembangan Grup Jaya pada 1965, di mana Gubernur DKI dr. Sumarno (komisaris) di cap berbau PKI dan sempat ditahan pemerintah
·        Krisis kedua menimpa Gmp Jaya ketika pecah kasus demonstrasi mahasiswa yang menolak peran investasi asing, khususnya dari Jepang, yang dikenal sebagai Malari (Malapetaka 15 Januari 1974). Mahasiswa marah atas keputusan Pemerintah yang mengundang asing berinvestasi di Indonesia, mereka membakar mobil-mobil Jepang, termasuk blok I dan 2 Proyek Senen, dan diler Toyota Dukuh Atas.
Dampaknya, Grup Jaya terpaksa pindah kantor dari Proyek Senen ke Toko Buku Mas Agung selama satu dua bulan. Kebetulan pada saat yang sama Grup Jaya sedang membangun Gedung Jaya. Karena tidak enak menumpang, pembangunan Gedung Jaya dikebut lantai atas dan bawah. Setelah gedung sudah tegak berdiri, akhirnya kantor Grup Jaya pindah sepenuhnya, walaupun pembangunan belum 100% tuntas. Gedung Jaya waktu itu termasuk yang monumental, karena merupakan sebuah gedung paling tinggi di Thamrin, gedung swasta yang disewakan ke luar dengan rate dolar.
Saat itu memang sudah ada Gedung Arthaloka yang sebelumnya adalah sebuah hotel yang direnovasi. Karena itu eksistensi Gedung Jaya ini termasuk pioner di lingkungannya. Hal yang agak mengecewakan dengan kasus Malari, asuransi tidak mau membayar karena tidak ada klausula kerusuhan atau demonstrasi.
Semua departemenperencanaan dimasing-masing anakperusahaan ditutupdan digantikan satudesign center.Namun, Gubernur Ali Sadikin sebagai pengganti Soemarno memberanikan diri untuk bicara dengan Menkeu Ali Wardana, yang akhirnya memberikan pinjaman dengan bunga sangat rendah, sehingga dengan pinjaman APBN itu bisa menyesaikan Proyek Senen tepat pada waktunya
·        Krisis ketiga, yakni 1997-1998, utang dolar AS Grup Jaya melonjak seiring melonjaknya nilai tukar dolar AS terhadap rupiah dari Rp2.3OO menjadi Rp 16.000 per dolar AS. Terpaksa saham di Jaya Mandarin Hotel dijual, selain menjual aset, serta menyerahkan sertifikat Gedung Jaya salah satu bank kreditor

·        Krisis keempat, ketika 2008 terjadi krisis subprime mortgage akibat KPR tak berkualitas di AS.
Saat itu, Ciputra sebagai pengelola tiga grup besar properti dengan kelolaan aset mencapai Rp40 triliun turut gelisah meski (etap percaya diri. Maka dibuatlah simulasi-simulasi ter-buruk jika Tambatan krisis subprime mortgage berkembang ke Tanah Air.
Untung saja krisis 2008 hanya mengguncang sedikit pasar modal dan industri keuangan. Sementara di sektor properti, terutama properti di bawah besutan Ciputra, relatif aman.










Jika berhasil melewati krisis tersebut dengan selamat maka pada fase kolaborasi ini organisasi mencoba engatasi cara kerja birokrasi yang terlalu rasional dan imperasional,dengan mengembangkan kerja tim. Fase ini mengandung suatu bibit krisis. Ketika kerja tim makin intensif di lakukan, anggota organisasi tidak jarang harus menangani penugasan-penugasan yang bersifat temporer,otoritas ganda,dan eksperimentasi yang terus menerus. Organisasi membutuhkan masa-masa penyegaran untuk mengatasi kelelahan dan kejenuhan yang dialami para anggotanya. Namun terkadang ada batas-batas di mana upaya-upaya penyegaran tidak mampu lagi mengatasi masa kejenuhan anggota. Hal ini disebut dengan krisis pembaruan(renewal crisis).Ciputra berhasil menangani keempat krisis tersebut.
Krisis memang kejam, begitu para pebisnis berseloroh. Grup Ciputa, misalnya, terpaksa harus memangkas 7.000 karyawannya, dan yang tersisa hanya sekitar 35%.
Semua departemen perencanaan di masing-masing anak perusahaan ditutup dan digantikan satu design center yang bertugas memberikan layanan desain kepada seluruh proyek. Bahkan jenjang komando yang semula 9 tingkat pun dipotong menjadi hanya 5 tingkat.
Akibatnya, banyak manajer kehilangan pekerjaan. Lebih pahit lagi, kantor pusat Grup Ciputra yang semula berada di Gedung Jaya, Thamrin. Jakarta Pusat, terpaksa harus pindah ke Ciputra Development Jl. Satrio Kav 6.
Sementara Managing Director Grup Ciputra Harun Hajadidan tim keuangannya, setelah susut menjadi tujuh orang dan gajinya dipotong hingga 40%, pindah kantor ke salah satu lantai Hotel Ciputra, Grogol, Jakart-a Barat. Di tempat itu, mereka menyewa beberapa ruangan.para petinggi perusahaan waktu itu sadar betul kondisi yang ada tidak bakalan berubah secepat yang dibayangkan. Celah yang masih terbuka hanyalah konsolidasi internal dan restrukturisasi perusahaan.Selain melakukan langkah-langkah restrukturisasi operasional, grup perusahaan jupa. melakukan pertemuan intensif dengan ratusan bondholder. termasuk BPPN. Terutama untuk utang-utang obligasi yang diterbitkan Grup, proses penyelesaiannya dengan melibatkan para bondholder.Kalau di masa krisis, nilai bisnis Ciputra di ketiga grup nyaris tak ada harganya, tapi kini sudah melambung mencapai Rp40 triliun lebih,

 diah syafita johar
FIA-UB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar